Transgender dalam Kacamata Psikologi, Hukum, dan Islam
Pada
dasarnya, Allah SWT hanya menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin yang
berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Namun kenyataannya, ada saja manusia yang
mengalami kebingungan dalam menentukan jenis kelaminnya. Kebingungan ini
terjadi apabila seseorang merasa bahwa tidak adanya kesesuaian antara jenis kelamin dengan
kejiwaannya. Contohnya
saja seseorang yang
terlahir dengan alat kelamin wanita yang sempurna dan tidak cacat, tetapi dirinya
merasa bahwa
ia bukanlah seorang wanita, melainkan seorang pria.
Begitu pula sebaliknya. Hal itulah yang menyebabkan kita mengenal istilah transgender, yaitu keadaan yang secara jasmani
telah jelas dan sempurna jenis kelaminnya, namun secara psikis ia cenderung
untuk menampilkan diri sebagai sosok yang berlawanan jenis.
Kaum transgender merasa bahwa ia tidak puas terhadap
dirinya sendiri, karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan
kelamin dengan kejiwaan. Reaksi dari orang yang mengalami kebingungan jenis
kelamin ini bisa terlihat dalam bentuk dandanan, gaya bicara, dan
juga tingkah laku.
Tak jarang, para transgender ini pada
akhirnya akan menjadi transeksual dengan mengubah alat kelaminnya, sehingga
mereka merasa nyaman dengan alat kelaminnya.
Sekarang ini, kita dapat melihat banyaknya individu
yang secara terang-terangan dan tidak lagi malu untuk mengakui identitasnya
sebagai seorang transgender. Lalu
bagaimana sebenarnya transgender
dalam kacamata hukum di Indonesia?
Ternyata, Negara Indonesia telah memiliki hukum yang
membahas mengenai masalah transgender
ini. Apabila kita
melihat hukum negara yang
tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 37 ayat (2) menyebutkan bahwa
bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Norma yang dimaksud adalah norma hukum, agama,
kesusilaan dan kesopanan. Dari pasal tersebut, jelas terlihat bahwa transgender ini bertentangan dengan norma
kesusilaan yang ada di masyarakat kita, khususnya
norma agama. Di dalam agama islam, operasi pergantian jenis kelamin hukumnya
adalah haram. Hal ini sesuai dengan dalil Al-Qur’an:
“Dan
aku (setan) akan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu mereka
benar-benar mengubahnya”. ( Q.S . An-Nisa’ :119)
Selain di
dalam Q.S An-Nisa di atas, para ulama fiqih juga mendasarkan ketetapan hukum
tersebut berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW yang
menyebutkan:
“Allah
mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.”
(HR. Ahmad).
Dengan
adanya dalil-dalil di atas, jelas bahwa di dalam islam operasi penggantian
jenis kelamin hukumnya adalah haram. Orang yang melakukan operasi perubahan
jenis kelamin menandakan bahwa orang tersebut telah termakan oleh godaan
serta bujuk rayu setan
yang memang memiliki tugas untuk menyesatkan umat manusia. Orang yang melakukan operasi
pergantian jenis kelamin juga menandakan bahwa ia tidak bersyukur atas
pemberian Allah SWT terhadap dirinya.
Ia justru melanggar kodratnya sebagai manusia yang telah diciptakan oleh Allah
dengan sebaik-baik penciptaan.
Yang terakhir, jika ditilik dari sudut pandang
psikologi, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi
transgender, seperti pengasuhan orangtua yang tidak adekuat, struktur keluarga
yang patogenik, serta trauma pada masa kanak-kanak.
Pengasuhan orangtua yang tidak adekuat maksudnya
disini yaitu kurangnya peranan orangtua sebagai pendidik utama bagi anak dalam
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma sebagai pegangan hidup bermasyarakat, sehingga
muncul adanya konsep-konsep yang keliru pada diri anak. Selanjutnya adalah
struktur keluarga yang patogenik. Ini berarti struktur keluarga yang kurang
seimbang, seperti ayah yang memiliki dominasi terhadap ibu, begitu pula
sebaliknya, sehingga banyak terjadinya pertentangan dan pertengkaran. Hal ini
dapat berdampak pada kondisi anak yang memungkinkan terbentuknya pemahaman bahwa
ibu yang seorang wanita tidak berdaya atas ayah. Oleh karena itu, seorang anak
perempuan tidak suka untuk “menjadi perempuan” misalnya. Lalu trauma atas
peristiwa yang terjadi pada masa kanak-kanak, dimana anak mendapatkan perlakuan
dalam bentuk fisik, seksual, dan emosi yang salah juga berkontribusi untuk
membentuk dirinya di masa yang akan datang.
Pada akhirnya, sebagai
seorang ilmuwan psikologi yang memahami hukum agama Islam
dan juga hukum yang berlaku di negara Indonesia, hendaknya
kita bertindak dan berperilaku sebagaimana mestinya. Sadari peran
kita. Bantu mereka yang membutuhkan pertolongan kita.alih-alih menjauhi mereka yang
masih memerlukan bantuan. Karena itulah kewajiban kita, untuk saling mengingatkan dan bahkan menyadarkan mereka mengenai kodrat
penciptaan Allah SWT atas penciptaan manusia.
No comments:
Post a Comment